Wednesday, April 28, 2010

Ketika Semua Terlambat

Aku duduk termenung di dalam mobilku. Merasa bimbang haruskah aku turun atau tetap didalam mobil. Kemudian aku meraih sebuah buku tulis yang kusam, yang sudah kusimpan kurang lebih 5 tahun. Dan aku benar-benar hidup didalam masa lalu tanpa aku bisa melangkah dan menatap hari depan. Hujan rintik-rintik menambah rasa sedih dalam diriku. Membuat aku benar-benar bingung, dan merasa marah pada Yang Kuasa. Dan terpuruk terus menerus dalam kesedihan.

* * *

“Lex,” kudengar namaku disebut oleh Andrea. “Hm? Kenapa Dre?” tanyaku. “Lex, gua pengen deh kita bisa temenen terus kaya gini, hehehe,” ujar Andrea padaku. “Pengen? Kita bakal kaya gini terus kok! Selamanya!” jawabku dengan yakin padanya. “Janji ya? Hehehe,” lanjutnya padaku. “Janji,” jawabku sambil melanjutkan tidur siangku di lapangan rumput ini. Kemudian perlahan aku merasa geli didekat telingaku, ternyata itu adalah rambut Andrea. Dia ikut berbaring disampingku. Dan saat aku melirik kesamping, kearahnya, dia benar-benar tampak cantik. Membuat jantungku berdebar lebih kencang.

Ya, aku dan Andrea telah berteman kurang lebih 1 tahun. Dia dan aku duduk sebangku dikelas. Pada jumpa yang pertama aku mengira bahwa dia adalah pribadi yang menyebalkan, tetapi ternyata tidak. Dia benar-benar menyenangkan. Dan yah biarpun kami tidak berpacaran, tetapi kami tampak seperti berpacaran, dan banyak yang mengira demikian. Ini disebabkan aku yang begitu menjaga dia. Karena merasa bahwa dia begitu perlu dijaga, dan jujur aku memang sayang padanya.

“Dre, udah malem. Balik yuk?” tanyaku padanya. Hening tak ada jawaban. “Dre,” aku memanggil lagi. Hening. Kemudian aku menoleh ke arah Andrea dan mendapatinya tertidur lelap. Karena tidak tega membangunkannya, aku mengangkatnya ke mobilku. Dan mengantarnya pulang. Diperjalanan, kuamati dirinya, begitu indah, dan benar-benar indah. Tak lama aku dan dia tiba di depan rumahnya. Karena dia masih tertidur, aku tak berani membangunkannya. Hingga dalam diam, aku terus menatapinya dalam-dalam. Tiba-tiba dia bergerak dan aku kaget. Dia bangun, dan menatapku dengan heran. “Lex, ngapain lu ngeliatin gua ampe kayak gitu? Demen lu sama gua? Hahaha,” ujarnya mendadak, dan membuatku tersipu malu. “Hah, bukanlah, gua ngeliatin lu, soalnya lu kayak babi, tidurnya ga bangun-bangun, hahaha,” jawabku seenaknya. “Eh ngomong-ngomong kita kok udah nyampe disini?” tanyanya padaku. “Ya karna gua ngangkat lu lah ke mobil tadi, tadi udah mau malam, jadi gua bawa aja lu ke mobil, trus nganterin lu pulang. Eh lu ringan banget sih? Kurang gizi lu ya?” tanyaku padanya dengan penasaran, karena berat badannya yang ya menurutku amat ringan itu. “Lah, gua gendut gini. Hahaha. Ngga lah, gua pas-pasan kok, ga kekurusan. Anyway, thanks ya udah nganterin gua. Haha. Lu balik sono, udah malem juga,” ujarnya padaku dan ku iyakan. Maka seturunnya dia dari mobil, aku langsung menuju kearah rumahku.

* * *

Beberapa minggu telah berlalu dari yang aku mengantarnya pulang dari lapangan hari itu. Dan kulihat dia semakin kurus saja. Saat kutanyakan apa ia sakit, ia bilang tidak. Jadi kubiarkan saja. Jujur saja sebenarnya aku khawatir sekali padanya. Aku takut ia sakit, atau kenapa-kenapa. Tapi ya aku yang hanya temannya ini atau mungkin teman dekatnya ini tak berani bertanya banyak. Aku takut dia tidak suka atau marah padaku. Banyak temanku yang mengatakan aku bodoh, idiot dan lain sebagainya, hanya karena aku tidak berani mengajak Andrea menjadi pacarku. Kata teman-temanku jelas sekali dia memberi peluang. Tapi aku tak pernah berani mengungkapkan padanya. Aku terlalu takut. Aku takut aku akan merubah segalanya. Dan aku tidak bisa berteman dengannya sama seperti dulu.

“Dre, ntar temenin gua nyari kado yah, buat nyokap. Dia ultah besok,” ujarku pada Andrea. “Tante besok ultah ya? Hm, oke deh,” jawabnya. Dan akupun melanjutkan mencatat catatan ekonomiku. Sambil mencuri-curi melirik padanya. “Ah, andai aja Dre, gua brani bilang gua suka sama lu,” pikirku dalam hati. Tiba-tiba dia memergokiku sedang meliriknya. “Apaan sih lu Lex liat-liat? Bikin risih deh. Kenapa? Ada yang nempel dimuka gua ya? Hahaha,” cerocosnya mendadak. Membuatku hanya bisa ber ah eh ah eh salah tingkah. “Beh, dasar lu ditanya aja diem. Haha,” ujarnya lagi sambil berlalu pergi menuju ke teman-teman perempuannya. “Bukan ada yang nempel tau, gua ngeliatin lu soalnya gua suka sama lu,” pikirku lagi dalam hati sambil terus mencatat. Tanpa sadar aku menuliskan namanya dibukuku.

Sepulang sekolah, seperti yang dibicarakan tadi dengannya, aku dan dia bersama-sama ke mall, mencari kado untuk mamaku. Dia dengan kocak mengatakan berbagai lelucon tentang kado yang akan diberikan kepada mamaku. Dan aku benar-benar tertawa karenanya. Setelah lama berkeliling akhirnya kami menemukan hal yang kira-kira cocok untuk ibuku, maka kami melanjutkan dengan makan malam. Kemudian aku mengantarnya pulang karena hari sudah malam. Tetapi ada yang aneh dengan Andrea, dia tampak pucat, berkali-kali kutanyakan apa ia sakit, ia menjawab dirinya tidak apa-apa. Jadi aku hanya bisa tidak berbuat apa-apa.

* * *

Beberapa hari setelah mencari kado bersamanya, aku menjalani hari dengan biasa-biasa saja. Kemudian pada hari itu, tertulis di selebaran sekolah ada pentas seni disekolah. Maka aku mengajak Andrea untuk pergi bersamaku nanti malam. Dan dia mengiyakan. Setelah mengajaknya, sudah berputar-putar dibenakku apa yang akan kukenakan nanti malam dan lain sebagainya. Tanpa terasa bel pulang berbunyi, dan aku seperti biasa, mengantarkan Andrea pulang. Tak lupa aku member tahu nanti malam akan menjemputnya pukul 19.30.

Malam tiba, dan aku benar-benar deg-degan. Aku padahal sudah biasa jalan dengan Andrea, tapi entah mengapa, mala mini jantungku tak bisa kompromi, berdetak begitu kencang. Seperti akan keluar. Setelah merasa rapi, dan pantas untuk pergi, aku membawa mobil menuju kearah rumah Andrea, dan menjemputnya. Tak disangka, dia menunggu didepan pintu dengan benar-benar cantik. Membuatku terpesona. Dan seperti mati ditempat.

“Lex, tumben lu cakep,” ujarnya padaku sambil tertawa keras. “Hush, lu aja yang ga tau gua cakep. Hahaha. Eh lu ketawa gitu banget, jelek tau jelek,” kataku tak mau kalah sambil tertawa. “Ye, lu juga ketawa kaya setan, hahaha,” ujarnya padaku kemudian, disertai gelak tawa kami berdua. Sepanjang perjalanan kesekolah, kami bercanda dan bercerita. Rasanya ada yang aneh malam ini. Entah apa.

Tak lama aku dan dia sampai disekolah, kami berjalan berkeliling sekolah, dan stand-stand yang ada. Kemudian kami membeli strap handphone yang kembar, mengambil foto berdua, dan membeli couple shirt untuk kami berdua. Rasanya hari itu adalah hari paling menyenangkan dalam hidupku. Setelah bosan berkeliling, kami terduduk di pojokan yang hening ditengah kebisingan. Memandangi langit yang gelap dengan 1 bintang diatas. “Lex, gua bakal jadi salah satu dari bintang itu,” katanya padaku. “Ah ngarep aja lu,” ujarku padanya dengan disertai tawa. Kemudian dia terdiam. Samar-samar terdengar lagu dari RAN yang datang sebagai bintang tamu. Mereka membawakan lagu dengan judul “Jadi Gila”. Pelan pelan kudengar lagu itu, dan merasa liriknya adalah benar-benar untukku. Aku menjadi gila karena Andrea. Perlahan musik mulai berakhir, berganti dengan lagu yang lain. Tanpa kusadari, Andrea menatapiku. Dan aku berbalik menatapnya. Entah apa yang terjadi, tetapi aku tiba-tiba menciumnya, dan memeluknya erat seakan tak mau melepasnya. Dan dia begitu diam dalam pelukku. Aku benar-benar tak ingin melepaskannya.

Setelah dari pentas seni disekolah kami. Aku dan dia pulang. Aku mengantarkannya pulang, dan dia hanya diam sepanjang perjalanan. Entah karena ciuman itu atau apa. Berbagai tanya muncul dalam pikiranku. Hingga tak terasa kami tiba didepan rumahnya. Dan dia turun. Pada saat itu denagn tiba-tiba dia menggenggam tanganku dan mencium bibirku pelan. Kemudian berbalik tanpa sempat aku berkata apa-apa. Aku hanya bisa terkaget-kaget dan merasa senang. Dan beberapa saat aku duduk terdiam, kemudian aku melanjutkan perjalanan pulangku. Sesampainya dirumah, aku berganti pakaian dan tertidur.

* * *

“Alex, Alex, bangun cepat,” tiba tiba kudengar suara mamaku mengedor-gedor pintu. Dan tiba-tiba pintu kamarku terbuka, dengan ngantuk kulihat wajah mamaku, berlinang airmata. “Lex, Andrea meninggal Lex,” ujar mamaku lagi tanpa aku sempat berkedip dan bertanya. Mendengar kata Andrea, dan meninggal, membuatku membatu, dan seakan duniaku runtuh. Aku benar-benar tidak sanggup berkata-kata. “kata dokter dia mengidap leukemia, tetapi masih tahap awal,” ujar ibuku kemudian seolah mampu membaca pikiranku. Dengan tatapan kosong aku mengganti pakaian dan mengambil kunci mobil emudian menyetir kearah rumah Andrea, dengan seribu satu pikiran.

“DREEE!! ANDREAAA!!” teriakku begitu sampai didepan rumahnya, membuat begitu banyak pelayat lain yang menoleh. Kemudian aku berlari masuk kerumahnya dan kudapati Andrea, telah berbaring di dalam peti mati. Benar-benar tka tahu harus melakukan apa, aku menangis, hingga lama sekali. Tak lama papa Andrea menghampiriku. “Nak Alex, mungkin ini sudah yang terbaik untuk Rea, kita ikhlaskan saja. Tuhan juga tahu yang terbaik untuknya,” ujar papanya. Kemudian mama dari Andrea mendekatiku, dan menyodorkan sebuah buku. “Ini dari Rea untuk kamu,” kata mamanya. Dengan ogah-ogahan aku menerimanya. Dan kembali menangis. Aku benar-benar merasa kehilangan segalanya. Kehilangan duniaku.

* * *

Telah dua minggu setelah kepergian Andrea, dan aku benar-benar masih tidak bisa menerima kepergiannya. Buku yang diberikan oleh mamanya masih belum kubuka. Dan kini buku itu ada didalam genggamanku. Aku benar-benar menyesal belum menyatakan padanya betapa aku menyayanginya, dan aku benar-benar suka padanya. Denagn perlahan kubuka buku yang dititipkan oleh mamanya itu. Pelan pelan air mata mengalir dari sudut mataku. Buku itu berisi tentang diriku.

Membaca buku itu sama sepeerti memflashback pertemuan pertamaku dengannya, hari-hari dengannya. dan tulisannya yang terakhir benar-benar membuatku sedih.

“12 April 2009. … dia nyium gua hei gua bener-bener kaget.Dan ngerasa kalau emang ini hari terakhir gua idup juga gua ga bakal kenapa kenapa.haha.ngomong ngomong,pala gua makin sering pusing .apa sakit gua makin parah ya?kenapa sih dia ga bilang ama gua kalo dia suka sama gua?kenapa dia ga ngajak gua jadian yah?gua bener-bener sayang sama dia,dan berharap tadi dia nembak gua.hei lu kok plinplan banget sih Lex?gua juga suka sama lu.dan gua sayang sama lu … ” sepotong bagian itu kubaca dan aku adalah orang terbodoh didunia. Kenapa aku terlalu malu? Kenapa tidak dari awal kukatakan aku menyayanginya? Semua terlambat. Dan benar-benar terlambat.

* * *

Setelah 5 tahun berlalu pun, aku tetap tak bisa melupakannya. Dan selalu menyesal. Entah apa yang bisa kulakukan. Hujan yang mulai reda dan matahari yang sudah mulai menyingsing ramah, membuatku tersadar, bahwa hanya terpuruk dan sedih takkan membuatnya tenang disana. Aku benar-benar harus bangkit. Dan ini akan menjadi hari terakhir aku bersedih. Kemudian aku melangkah turun dari mobil, dan berjalan menuju batu nisan yang bertuliskan “Andrea Clarina”, dan aku meletakkan bunya mawar pink kesukaannya disana. “Dre, besok aku berangkat ke Afrika. Jadi dokter pembantu disana. Doain aku berhasil ya. Nggak lama kok. 3 tahun juga aku pasti pulang. Dan lihat aku sekarang, udah kaya yang aku bilang ke kamu kan? Aku berhasil Dre jadi dokter. Hm, aku pulang sekarang yah, mesti siap-siap. Selamat tinggal Andrea,” ujarku berkata-kata sendiri. Dan setelah itu aku berjalan meninggalkan nisan itu. Menuju mobilku, kemudian meninggalkan komplek perkuburan, menyetir pulang. Untuk melanjutkan hidupku. Kemudian menjadi diriku yang lebih baik, untuk dia yang sudah pergi, dan untuk mereka yang masih ada.

No comments:

Post a Comment